Pangersah Abah Anom Suryalaya
Pendiri
Pesantren Inabah, Suryalaya :
Ahmad
Shohibulwafa Tajul Arifin adalah nama asli Abah Anom. Lahir 1 Januari 1915 di
Suryalaya, Tasikmalaya. Ia anak kelima dari Syekh Abdullah Mubarok bin Nur
Muhammad, atau Abah Sepuh, pendiri Pesantren Suryalaya. Sebuah pesantren
tasawuf yang khusus mengajarkan Thariqat Qadiriyyah Naqsabandiyyah (TQN).
Ia memasuki
bangku sekolah dasar (Vervooleg school) di Ciamis, pada usia 8 tahun. Lima
tahun kemudian melanjutkan ke madrasah tsanawiyah di kota yang sama. Usai
tsanawiyah, barulah ia belajar ilmu agama Islam, secara lebih khusus di
berbagai pesantren.
Ia keluar
masuk berbagai macam pesantren yang ada di sekitar Jawa Barat seperti,
Pesantren Cicariang dan Pesantren Jambudwipa di Cianjur untuk ilmu-ilmu alat
dan ushuluddin. Sedangkan di Pesantren Cireungas, ia juga belajar ilmu silat.
Minatnya untuk belajar silat diperdalam ke Pesantren Citengah yang dipimpin
oleh Haji Djunaedi yang terkenal ahli “alat”, jago silat dan ahli hikmat.
Kegemarannya
menuntut ilmu, menyebabkan Abah Anom menguasai berbagai macam ilmu keislaman
pada usia relatif muda (18 tahun). Didukung dengan ketertarikannya pada dunia
pesantren, telah mendorong ayahnya yang dedengkot Thoriqot Qadiriyah
Naqsabandiyah (TQN) untuk mengajarinya dzikir TQN. Sehingga ia menjadi wakil
talqin ayahnya pada usia relatif muda.
Mungkin
sejak itulah, ia lebih di kenal dengan sebutan Abah Anom. Ia resmi menjadi
mursyid (pembimbing) TQN di Pesantren tasawuf itu sejak tahun 1950. Sebuah masa
yang rawan dengan berbagai kekerasan bersenjata antar berbagai kelompok yang
ada di masyarakat, terutama antara DI/TII melawan TNI.
“Tasawuf
tidak hanya produk asli Islam, tapi ia telah berhasil mengembalikan umat Islam
kepada keaslian agamanya pada kurun-kurun tertentu,” tegas Abah Anom, tentang
eksistensi tasawuf dalam ajaran Islam.
Tasawuf yang
dipahami Abah Anom, bukanlah kebanyakan tasawuf yang cenderung mengabaikan
syari’ah karena mengutamakan dhauq (rasa). Menurutnya, sufi dan pengamal
tarekat tidak boleh meninggalkan ilmu syari’ah atau ilmu fiqih. Bahkan,
menurutnya lagi, ilmu syari’ah adalah jalan menuju ma’rifat.
Ia,
sebagaimana lazimnya sosok sufi, tak ingin terkenal. “Ia amat sulit untuk
diwawancarai wartawan, karena beliau tak ingin dikenal orang,” ungkap Ustadz
Wahfiudin, mubaligh Jakarta yang menjadi salah seorang muridnya.
Kendati
demikian, ia bukanlah sosok sufi yang lari ke hutan-hutan dan gunung-gunung,
seperti legenda sufi yang sering mampir ke telinga kita. Yang hidup untuk
dirinya sendiri, dan menuding masyarakat sebagai musuh yang menghalangi dirinya
dari Allah swt. Ia akrab dengan berbagai medan kehidupan, mulai dari pertanian
sampai pertempuran.
Pada tahun
50-60-an kondisi perekonomian rakyat amat mengkhawatirkan. Abah Anom turun
sebagai pelopor pemberdayaan ekonomi umat. Ia aktif membangun irigasi untuk
mengatur pertanian, juga pembangunan kincir angin untuk pembangkit tenaga
listrik.
Bahkan Abah
Anom membuat semacam program swasembada beras di kalangan masyarakat Jawa Barat
untuk mengantisipasi krisis pangan. Aktivitas ini telah memaksa Menteri
Kesejahteraan Rakyat Suprayogi dan Jendral A. H. Nasution untuk berkunjung dan
meninjau aktifitas itu di Pesantren Suryalaya.
Medan
pertempuran bukanlah wilayah asing bagi Abah Anom. Pada masa-masa perang
kemerdekaan, bersama Brig. Jend. Akil bahu-membahu memulihkan keamanan dan
ketertiban di wilayahnya. Ketika pemberontakan PKI meletus (1965), ia bersama
para santrinya melakukan perlawanan bersenjata.
Bahkan tidak
hanya sampai di situ, Abah Anom membuat program “rehabilitasi ruhani” bagi para
mantan PKI. Tak heran, jika Abah mendapat berbagai penghargaan dari Jawatan
Rohani Islam Kodam VI Siliwangi, Gubernur Jawa Barat dan instansi lainnya.
Medan
pendidikan juga tak luput dari ruang aktivitasnya. Mulai dari pendirian
Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah ‘Aliyah pada tahun 1977, sampai pendirian
Institut Agama Islam Latifah Mubarokiyah pada tahun 1986.
Kiprahnya
yang utuh di berbagai bidang kehidupan manusia, ternyata berawal dari
pemahamannya tentang makna zuhud. Jika kebanyakan kaum sufi berpendapat zuhud
adalah meninggalkan dunia, yang berdampak pada kemunduran umat Islam. Maka
menurut pendapat Abah Anom,
“Zuhud
adalah qasr al-’amal artinya, pendek angan-angan, tidak banyak mengkhayal dan
bersikap realistis. Jadi zuhud bukan berarti makan ala kadarnya dan berpakaian
compang camping.”
Abah merujuk
pada surat An-Nur ayat 37 yaitu, “Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh
perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingat Allah dan dari
mendirikan shalat, (dari) membayarkan zakat. Mereka takut kepada suatu hari
yang (di hari itu) hati menjadi guncang.”
Jadi,
menurut beliau seorang yang zuhud adalah orang yang mampu mengendalikan harta
kekayaannya untuk menjadi pelayannya, sedangkan ia sendiri dapat berkhidmat
kepada Allah swt semata. Atau seperti dikatakan Syekh Abdul Qadir Jailani,
“Dudukkanlah
dirimu bersama kehidupan duniawi, sedangkan kalbumu bersama kehidupan akhirat,
dan rasamu bersama Rabbmu.”
Inabah
Mengentaskan
manusia dari limbah kenistaan bukanlah perkara mudah. Abah Anom memiliki
landasan teoritis yang kuat untuk merumuskan metode penyembuhan ruhani,
semuanya ada dalam nama pesantren itu sendiri yaitu, Inabah.
Abah Anom
menjadikan Inabah tidak hanya sekedar nama bagi pesantrennya, tapi lebih dari
itu, ia adalah landasan teoritis untuk membebaskan pasien dari gangguan
kejiwaan karena ketergantungan terhadap obat-obat terlarang. Dalam kacamata
tasawuf, ia adalah nama sebuah peringkat ruhani (maqam), yang harus dilalui
seorang sufi dalam perjalanan ruhani menuju Allah swt.
“..Salah
satu hasil dari muraqabatullah adalah al-inabah yang maknanya kembali dari
maksiat menuju kepada ketaatan kepada Allah swt karena merasa malu ‘melihat’
Allah,” jelas Abah yang merujuk pada kitab Taharat Al-Qulub.
Dalam teori
inabah, untuk menancapkan iman dalam qalbu, tak ada cara lain kecuali dengan
dzikir laa ilaha ilallah, cara ini di kalangan TQN disebut talqin. Demikian
juga dalam mesikapi mereka yang dirawat di pesantren Inabah. Mereka harus
diberikan ‘pedang’ untuk menghalau musuh-musuh di dalam hati mereka, pedang itu
adalah dzikrullah.
Orang-orang
yang dirawat di Inabah diperlakukan seperti orang yang terkena penyakit hati,
yang terjebak dalam kesulitan, kebingungan dan kesedihan. Mereka telah
dilalaikan dan disesatkan setan sehingga tak mampu lagi berdzikir pada-Nya.
Ibarat orang yang tak memiliki senjata lagi menghadapi musuh-musuhnya.
Walhasil, obat untuk mereka adalah dzikir.
Shalat
adalah salah satu bentuk dzikir. Menurut pandangan Abah Anom, para pasien itu
belum dapat shalat karena masih dalam keadaan mabuk (sukara), karena itu
langkah awalnya adalah menyadarkan mereka dari keadaan mabuk dengan mandi
junub. Apalagi sifat pemabuk adalah ghadab (pemarah), yang merupakan perbuatan
syaithan yang terbuat dari api. Obatnya tiada lain kecuali air.
Jadi, selain
dzikir dan shalat, untuk menyembuhkan para pasien itu digunakan metode wudlu
dan mandi junub. Perpaduan kedua metode itu sampai kini tetap digunakan Abah
Anom untuk mengobati para pasiennya dari yang paling ringan sampai yang paling
berat, dan cukup berhasil. Buktinya, cabang Inabah tak hanya di Indonesia, di
Singapura langsung berdiri sebuah cabang serta Malaysia dua buah cabang. Belum
lagi tamu-tamu yang mengalir dari berbagai benua seperti Afrika, Eropa dan
Amerika.
dari Suara
Hidayatullah, 1999
sumber: http://muslimdelft.nl/titian_ilmu/biografi/abah_anom_sufi_yang_tak_menyendiri.php
sumber: http://muslimdelft.nl/titian_ilmu/biografi/abah_anom_sufi_yang_tak_menyendiri.php
Tidak ada komentar:
Posting Komentar