“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan)
negeri akhirat, dan janganlah engkau lupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi
dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik
kepadamu, dan janganlah engkau berbuat kerusakan di bumk Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (Al Quran, surah AI-Qashash : 77)
Pada umumnya orang memahami zuhud sebagai sikap hidup
para sufi yang meninggalkan kebahagiaan duniawi. Mereka membekali diri untuk
mengejar kehidupan dan kebahagiaan akhirat semata, seolah tak peduli dengan
urusan duniawi atau urusan orang lain di sekitarnya. Jangankan urusan duniawi
orang lain, untuk kebutuhan hidupnya sendiri pun terkadang ia tak terlalu
peduli.
Pemahaman seperti itu jelas kurang tepat. Sebab banyak
sufi tidak mengartikan zuhud seperti itu. Sufi terkenal, Abul Qasim
Al-Junayd Al-Baghdady (210-298 H), misalnya, justru sangat tidak menyukai
sikap zuhud demikian. Menurut dia, zuhud model itu hanya akan membawa orang,
termasuk sufi, pada kondisi yang tidak menggembirakan. Masa orang tidak peduli
pada keadaan sekitarnya. Masa orang tidak perlu mencari nafkah bagi diri dan
keluarga. Masa untuk memenuhi kebutuhannya sendiri pun mengharap uluran tangan
orang lain. Masa…
Aplikasi zuhud, menurut Al-Junayd, bukanlah meninggalkan
kehidupan dunia sama sekali, melainkan tidak terlalu mementingkan kehidupan
duniawi belaka. Jadi, setiap Muslim termasuk juga para sufi, tetap berkewajiban
untuk mencari nafkah bagi penghidupan dunianya, untuk diri dan keluarganya.
Letak zuhudnya adalah, bila ia memperoleh rezeki yang lebih dari cukup. ia
tidak merasa berat memberi kepada mereka yang lebih memerlukannya.
Berdasarkan pernahaman dan penghayatan Al-Junayd
tentang zuhud ini, maka tak berlebihan kalau kemudian Al-Junayd disebut sebagai
“Sufi yang moderat”. Selain itu, meski ia seorang sufi, ia tak melulu
membicarakan soal tasawuf saja, tetapi juga berbagai masalah lain yang
berhubungan dengan kemaslahatan umat Islam. Inilah juga yang membuat Al-Junayd
agak beda dengan para sufi pada umumnya.
Misalnya. Al-Junayd sangat peduli terhadap berbagai
penyakit yang timbul di masyarakat. Menurut dia, di dalam masyarakat lebih
banyak ditemukan orang yang sakit jiwa ketimbang mereka yang sakit jasmani. Itu
lantaran jiwa lebih sensitif dan lebih rapuh ketimbang fisik, sehingga jiwa
lebih mudah menderita. Lebih lanjut, penyakit jiwa ini lebih merusak jika
dibandingkan dengan penyakit fisik. Sebab penyakit tersebut lebih mudah
menggerogoti jiwa dan moral manusia. Sedangkan jika jiwa seorang sudah rusak,
maka dengan mudah ia akan terseret pada berbagai perbuatan yang menyalahi
ajaran agama, yang lebih jauh akan menggiringnya masuk ke dalam neraka. (AI-Qushairy,
AI-Risalah ai-Qushairiyah - Dar al-Kutub al-’Arabiyah al-Kubra. Kairo. 1912,
hi. 10)
Siapa Al-Junayd?
Al-Junayd, nama lengkapnya, Abu AI-Qasim Al-Junayd
bin Muhammad Al-Junayd AI-Khazzaz Al-Qawariri, lahir sekitar tahun 210 H di
Baghdad, Iraq. la berasal dari keluarga Nihawand, keluarga pedagang di Persia,
yang kemudian pindah ke Iraq. Ayahnya, Muhammad ibn Al-Junayd, memang
seorang pedagang barang pecah belah. Makanya, orang menjulukinya AI-Qawariri,
yang artinya barang pecah belah. Al-Junayd sendiri belakangan mendapat julukan
Al-Khazzaz, yang artinya pedagang sutera, karena memang ia seorang pedagang
sutera di kota Baghdad.
Al-Junayd pertama kali memperoleh didikan agama dari
pamannya (saudara ibunya), yang bernama Sari Al-Saqati, seorang pedagang
rempah-rempah yang sehari-harinya berkeliling menjajakan dagangannya di kota
Baghdad. Pamannya ini dikenal juga sebagai seorang sufi yang tawadhu dan luas
ilmunya. Berkat kesungguhan dan kecerdasan Al-Junayd, seluruh pelajaran agama
yang diberikan pamannya mampu diserapnya dengan baik.
Menginjak usia 20 tahun Al-Junayd belajar ilmu hadis
dan fiqih kepada Abu Thawr (wafat 240 H). Abu Thawr adalah seorang faqih
terkenal di Baghdad kala itu. Banyak muridnya yang kemudian menjadi ahli hukum
terkemuka. Di bawah bimbingan guru ini Al-Junayd tumbuh menjadi seorang faqih
yang handal. Tanda-tandanya memang sudah kelihatan sejak ia masih belajar. la
sering mengemukakan pendapat tentang suatu hukum tertentu dan pendapatnya itu
sangat tepat untuk berbagai persoalan fiqih (al-mas’alah al-fiqhiyah).
Kehandalan Al Junayd juga diakui oleh temannya, Ibnu
Durayj (wafat 306 H), seorang faqih terkenal. Ketika ia sedang mengajar pernah
ditanya oleh muridnya: “Dari mana pendapat yang demikian itu diperoleh?” Secara
jujur Ibnu Duraij menjawab, “Ini merupakan hasil yang saya dapatkan ketika
berdiskusi dengan Al-Junayd. Bila saya pertanyaan ini diajukan kepada saya
sebelum itu, niscaya saya tidak akan dapat menjawabnya,”
Menguasai ilmu fiqih, bagi Al Junayd, mempunyai arti
penting dalam upaya selanjutnya untuk menguasai ilmu tasawuf. la merasa, dengan
menguasai ilmu fiqih yang luas lebih dulu, maka praktek ajaran sufisme akan
tetap dapat dikontrolnya, sehingga tidak keluar dari koridor Al Ouran dan
Hadis. Seperti pernah dikatakan oleh Al-Makki, setiap orang harus menguasai
lebih dulu ilmu hadis dan fiqih bila ingin mendalami dan mempraktekkan ajaran
tasawuf, Itu akan menghindarkan sufi dari kemungkinan tersesat, karena belum
memiliki pengetahuan dasar yang kuat.
Lebih tegas lagi, Al-Junayd mengungkapkan syarat yang
harus dipenuhi bila orang ingin mengajarkan tasawuf. “Saya belajar hukurn pada
ulama yang dikenal luas ilmunya tentang hadis, seperti Abu ‘Ubayd dan Abu
Tsaur. Kemudian saya belajar pada AI-Muhasibi dan Sari Ibn Mughallas. Itulah
kunci keberhasilanku. Lantaran ilmu yang kita miliki harus terus dikontrol dan
disesuaikan dengan Al Ouran dan Sunnah, Oleh sebab itu, siapa saja yang tidak
menguasi ilmu Al Quran, tidak secara formal belajar hadis, dan tidak mendalami
hukum sebelum menekuni tasawuf, tidaklah berhak mengajarkan tasawuf.”
Nyatanya, Al-Junayd sudah diakui sebagai seorang ahli
fiqh, bahkan juga ahli tauhid (teolog). Kalau saja ia tidak mempelajari tasawuf
maka ia sudah menjadi seorang faqih yang lebih terkenal. Tetapi karena kemudian
ia mendalami tasawuf, akhirnya ia lebih dikenal sebagai seorang sufi. Ketika
penguasa Abbasiyah melakukan mihnah (penyelidikan) terhadap setiap sufi soal
kesetiaan mereka kepada pemerintah, Al-Junayd mengatakan bahwa dirinya lebih
merupakan seorang faqih ketimbang sufi. Dan itu membuatnya terhindar dari
mihnah tersebut..
Tak urung, ada beberapa sufi yang menjadi korban
mihnah, ditangkap dan disiksa oleh penguasa, dengan tuduhan ajarannya dianggap
menyeleweng dari ajaran Islam dan juga melawan pemerintah. Salah seorang sufi
yang terkena jeratan mihnah adalah AI-Hallaj, yang pernah juga berguru pada
Al-Junayd.
Seperti diketahui, AI-Hallaj mengajarkan tasawuf
wihdatul wujud (Ana Al-Haqq), yang dianggap menyesatkan umat. AI-Hallaj harus
menerima hukuman mati. Tapi disinyalir hukuman itu lebih bernuansa politik,
karena AI-Hallaj mendukung perjuangan kaum Qaramitah yang menuntut
dihapuskannya kesewenang-wenangan pemerintah.
Al-Junayd sendiri sebenarnya juga menentang
kesewenang-wenangan itu. Tapi penentangannya tidak lewat gerakan politik
seperti muridnya (AI-Hallaj). la hanya bersikap mengambil jarak dengan
pemerintahan, misalnya menolak keterlibatan para sufi menduduki jabatan di
kepemerintahan. Karena hal itu, menurut dia, hanya akan menjadi penghalang
muj’ahadah dan ketekunan sufi dalam beribadah. Makanya. ketika dua temannya.
Uthman AI-Makki dan Ruwayn bin Ahmad, menerima jabatan sebagai qadhi, Al-Junayd
lalu memutuskan hubungan dengan mereka.
Kendati begitu, Al-Junayd tetap dikenal pemikirannya
beraliran salaf. la tidak bersikap radikal dalam menghadapi setiap persoalan.
Apalagi yang ada kaitannya dengan persoalan pemerintahan. la lebih
berkonsentrasi pada ajaran tasawufnya yang bersandarkan pada Al Quran dan
Hadis.
Mengenai keluasan pengetahuan Al-Junayd, diakui oleh
AI-Khuldi, “Sebelum ini kami belum pernah menemukan seorang Syekh yang mampu
menggabungkan ilmu pengetahuan dengan pengalaman sufistiknya. Banyak syekh
memang memiliki ilmu yang luas. Tapi biasanya tidak mempunyai pengalaman mistik
yang mendalam. Di sisi lain, ada yang mempunyai pengalaman sufistik yang
mendalam, tapi hanya menguasai ilmu pengetahuan ala kadarnya. Al-Junayd
memiliki keduanya. Pengalamannya mendalam di bidang sufisme dan ilmu
pengetahuannya sangat luas. Bahkan ilmu pengetahuannya, nyaris melebihi
pengalaman mistiknya.”
Guru dan Murid Al-Junayd
Sebelum seseorang menjadi tokoh sufi, tentulah
memiliki guru dan setelah menjadi tokoh sufi, memiliki pula murid-murid. Hanya
saja, guru yang mengajari Al-Junayd tentang ilmu tasawuf tidak terlalu banyak.
Mereka itu adalah Sari Al-Saqati, AI-Muhasibi, Muhammad Al-Qassab, Ibn
AI-Qaranbi, dan AI-Qantari.
Mengenai Al-Saqati ini - nama lengkapnya Abul al-Hasan
Sari Ibn al-Mughallis al-Saqati - punya kisah menarik. Selain sebagai sufi, ia
juga dikenal sebagai pedagang yang saleh.
Suatu ketika, terjadi kebakaran di pasar Baghdad.
Seseorang mengabarkan padanya bahwa tokonya ikut terbakar. Apa katanya?
“Biarlah. Sekarang saya justru menjadi bebas dan tidak
perlu lagi mengurus barang-barang tersebut.”
Setelah api dapat dipadamkan, ternyata tokonya tidak
terbakar. Sementara toko-toko di sekelilingnya ludes dilalap api.
Al Saqati talu rnembagi-bagikan semua barang
dagangannya kepada para fakir iniskin. la sendiri kemudian meninggalkan
usahanya untuk selanjutnya sibuk menekuni dunia tasawuf. Pamannya Al-Junayd ini
belajar tasawuf kepada Abu Mahfuz Ma’ruf Ibn AI-Fairuz AI-Karkhil (wafat tahun
200 H). seorang sufi kenamaan dari Persia.
Kalau Al Saqati, paman dan guru Al-Junayd adalah orang
Persia, maka Al-Muhasibi merupakan guru tasawuf Al-Junayd yang bcrasal dari
keturunan Arab, namun lahir di Basrah. Sementara Muhammad AI-Qassab - Abu
Ja’far Muhammad ibn All AI-Qassab (wafat 275 H) - menurut AI-Junayd: adalah
guru sufi yang paling utama baginya.
Selain itu, Al-Junayd juga berguru tasawuf pada Ibn
AI-Karanbi dan Al-Qantari. Yang mengesankan dari dua guru ini, hubungannya
dengan Al-Junyad sangat akrab, tak tampak sebagai hubungan antara murid dan
guru, Padahal, keduanya merupakan tokoh sufi terkemuka di kota Baghdad, bahkan
Al-Qantari adalah teman Ma’ruf AI-Karkhi: gurunya Sari Al-Saqati.
Murid-murid Al-Junayd cukup banyak. Namun ada tiga
muridnya yang paling kesohor, yakni Al-Jurayri, Al-Shibli, dan AI-Hallaj. Yang
disebut terakhtr ini mengembangkan sendiri faham ittihad yang berbeda dengan
faham gurunya. Bila Al-Junayd masih memberi batasan yang jelas antara Tuhan
yang qadim dengan makhluk yang hadis, maka AI-Hallaj melangkah lebih jauh.
Menurut AI-Hallaj, persatuan makhluk dengan Tuhan bisa terjadi secara total.
Dan justru di situlah dia dipandang oleh para ulama Syariat telah menyeleweng dari
ajaran Islam. Sehingga la kemudian diadukan
kepada Khalifah AI-Muqtadir yang berkuasa saat itu. la pun lalu ditangkap, diadili, dan akhirnya dihukum mati,
kepada Khalifah AI-Muqtadir yang berkuasa saat itu. la pun lalu ditangkap, diadili, dan akhirnya dihukum mati,
Pemikiran Al-Junayd
Dalam pemikiran tasawuf Al-Junayd, Tuhan itu Maha
Suci. KesucianNya adalah azali dan abadi. Tuhan itu suci sejak keberadaanNya
yang tanpa awal dan akan terus demikian tanpa akhir. Sementara manusia yang
terdiri dari ruh dan jasad, berbeda dari Tuhan.
Bedanya, pada mulanya ruh manusia diciptakan dalam
keadaan suci bersih. Dia tidak mempunyai keinginan apa-apa selain kepada Tuhan.
Namun setelah ruh itu dimasukkan ke dalam tubuh manusia, ia rnenjadi terikat
dengan nafsu yang ada dalam tibuh manusia, bahkan terkadang berada di bawah
pengaruh nafsu yang berusaha untuk menariknya pada berbagai kesenangan duniawi.
Pada gilirannya, ruh terpesona dengan dorongan nafsu
atas kemewahan dunia. Karena keinginan dan terpengaruhnya ruh pada benda-benda
dunia inilah yang kemudian rnenyebabkan ruh tak lagi suci seperti semula. la
tercemar karena dilumuri hasrat dan kenikmatan dunia yang menipu.
Kendati demikian, dari pemahan itu, manusia menurut
Al-Junyad bisa mendekati bahkan bersatu dengan Tuhan melalui tasawuf. Dan untuk
mencapai kebersatuan itu, orang harus mampu memisahkan ruhnya dari semua sifat
kemakhlukan yang melekat pada dirinya.
Walau begitu, kata Al-Junayd, sufisme adalah suatu
sifat (keadaan) yang di dalamnya terdapat kehidupan manusia. Artinya, esensinya
memang merupakan sifat Tuhan, Tapi gambaran formalnya (lahirnya) adalah sifat
manusia.
Di sini Al-Junayd ingin menegaskan bahwa sesungguhnya
diri manusia telah dihiasi dengan sifat Tuhan, Sehingga, kondisi tingkat
tertinggi dari suatu pengalaman sufistik yang dicapai seorang sufi pada
persatuannya dengan Tuhan, juga dapat dilukiskan. Pada tingkat ini seorang sufi
akan kehilangan kesadarannya, la tidak lagi merasa memiliki hubungan dengan
lingkungannya. Seluruh perhatiannya hanya tertuju buat Tuhan. Dengan kehilangan
kesadarannya akan keduniaan, maka ia otomatis sedang berada dengan Tuhan.
Pada tingkat yang demikian. seorang sufi merasakan
tidak ada lagi jarak antara dirinya dengan Tuhan. Karena sifat-sifat yang ada
pada dirinya semuanya sudah digantikan dengan sifat Tuhan. Segala kehencfak
pribadi manusia lenyap, digantikan dengan kehendakNya.
Seperti dipaparkan oleh AI-Hujwiri soal tasawuf
Al-Junayd ini. bahwa dalarn persatuan yang sesungguhnya (tauhid) tidak akan ada
lagi sifat manusia yang tertinggal. Lantaran, sifat-sifat itu tidak tetap,
sehingga hanya berbentuk gambar saja. Oleh sebab itu, Tuhanlah sesungguhnya
yang berbuat. Semua itu sebenarnya sifat-sifat Tuhan. Karenanya, Tuhan misalnya
kemudian menyuruh manusia untuk berpuasa. Bila dilaksanakan, maka Dia memberi
nama Shaim pada mereka. Sehingga sekalipun secara lahir puasa itu milik manusia,
tapi sesungguhnya puasa adalah kepunyaan Tuhan.
Juga untuk mencapai persatuan kepada Tuhan, menurut
Al-Junayd. manusia harus menyucikan batin, mengendalikan nafsu, dan
rnembersihkan hati dari segala sifat-sifat kemakhlukan. Sctelah kebersatuan
dengan Tuhan itu tercapai, seorang sufi kembali tersadar. Dan selanjutnya harus
mengajak urnat dan membimbingnya ke jalan yang diyakininya.
Dari situ, dimaklumi, bahwa pemikiran sufisme
Al-Junayd berpangkal pada ajaran tauhid atau persaluan dengan Tuhan. Paham persatuan
dengan Tuhan dalam pemikiran Al-Junayd ini banyak diikuti oleh para sufi lain
di rnasanya dan sesudahnya
Kemoderatan Al-Junayd dalam bertasawuf jelas terlihat
ketika ia bicara soal zuliud misalnya. Karena. zuhud merupakan pangkal atau
dasar dari segala ajaran yang terkandung dalam sufisme yang diyakini oleh
setiap sufi. Untuk menjadi sufi, setiap orang harus terlebih dulu menjalani
zuhud atau menjadi zahid.
Untuk menjadi zahid, seorang sufi harus melepaskan
kesenangannya pada benda-benda yang selama ini telah memberinya kenikmatan
duniawi. Sebab kesenangan kcpada duniawi - bagi para sufi - diyakini sebagai
pangkal segala bencana. Sedangkan bencana yang paling besar bagi setiap sufi
adalah ketika mereka tak dapat mendekati dan bersatu dengan Tuhan.
Namun dalam pemikiran Al-Junayd, zuhud adalah
kosongnya tangan dari
kepemilikan dan hati dari hal yang mengikuti (ketamakan). Menurut Muhammad Amin AI-Nawai, pengertian zuhud Al-Junayd itu diartikan sebagai suatu sifat yang tidak memberatkan diri pada duniawi yang dimiliki. Sehingga tidak akan merasa berat untuk menyedekahkan dan mendermakan
hartanya pada yang lebih membutuhkannya. Jadi, zuhud dalam pikiran Al-Junayd tidak berarti harus meninggalkan dunia sama sekali.
kepemilikan dan hati dari hal yang mengikuti (ketamakan). Menurut Muhammad Amin AI-Nawai, pengertian zuhud Al-Junayd itu diartikan sebagai suatu sifat yang tidak memberatkan diri pada duniawi yang dimiliki. Sehingga tidak akan merasa berat untuk menyedekahkan dan mendermakan
hartanya pada yang lebih membutuhkannya. Jadi, zuhud dalam pikiran Al-Junayd tidak berarti harus meninggalkan dunia sama sekali.
Zuhud ala Al-Junayd ini lebih merupakan sikap seorang
sufi yang tidak begitu terikat pada urusan dunia. Namun bukan berarti harus
menjauhi dunia. Bahkan pemahaman itu akan melahirkan sikap kedermawanan dan
suka bersedekah pada orang yang membutuhkannya. Jadi seorang zahid
boleh mencari rezeki yang halal sesuai ajaran Tuhan. Tapi setelah rnendapatkannya ia kudu menggunakannya di jalan yang benar, sesuai
petunjuk Tuhan.
boleh mencari rezeki yang halal sesuai ajaran Tuhan. Tapi setelah rnendapatkannya ia kudu menggunakannya di jalan yang benar, sesuai
petunjuk Tuhan.
Makanya, fenomena itu terlihat dari penampilan sufi
Al-Junayd sehari-hari. la tidak anti-dunia. la malah berdagang di pasar Baghdad
untuk memenuhi kebutuhannya, Kehidupan sehari-harinya pun dijalaninya secara
wajar bahkan ia memiliki rumah yang cukup bagus dan mengenakan pakaian yang
pantas, tak seperti Kebanyakan pakaian yang digunakan oleh para sufi umumnya.
Menurut Al-Junyad, setiap Muslim, termasuk juga para
sufi, seharusnya mengikuti jejak Rasulullah saw, yaitu menjalani kehidupan ini
seperti manusia biasa, menikah, berdagang, berpakaian yang pantas. tapi juga
dermawan, la tidak suka dengan sifat manusia yang apatis.
Kata Al-Junyad, “Seorang sufi tidak seharusnya hanya
berdiam diri di masjid dan berzikir saja tanpa bekerja untuk nafkahnya.
Sehingga untuk menunjang kehidupannya orang tersebut menggantungkan diri hanya
pada pemberian orang lain. Sifat-sifat seperti itu sangatlah tercela. Karena
sekali pun ia sufi, ia harus tetap bekerja keras untuk menopang kehidupannya
sehari-hari. Dimana jika sudah mendapal nafkah, diharapkan mau membelanjakannya
di jatan Allah.”
Al-Junayd tetap melaksanakan ibadah sebagaimana
layaknya yang dijalani oleh para sufi. Berzikir, membaca Al Quran dan lain
sebagainya. Sehingga dalam pemikiran Al-Junayd keharusan mencari nafkah tidak
menjadi penghalang untuk berada sedekat mungkin dengan Tuhan. ‘Karena, dunia
tidak dibuatnya menjadi suatu kesenangan. Melainkan hanyalah sebuah pelengkap.
Itulah makanya: meski ia seorang pedagang ia tetap
menomorsatukan pengabdiannya kepada Allah SWT. Di saat-saat pembeli sedang
sepi, ia pun memanfaatkan waktunya untuk shalat sunah. Juga baginya tiada hari
tanpa membaca Al Quran. AI-Baghdadi mengatakan, saat-saat akan meninggal
Al-Junayd membaca Al Quran sampai tamat. Lalu, ketika ia memulai lagi dari
surat AI-Baqarah sampai ayat ke-70, barulah ia menghembuskan nafasnya yang
terakhir. Al-Junayd meninggal pada tahun 298 H dan dimakamkan tepat di sebelah
makam pamannya. Sari Al-Saqati.
Karya-Karya Al-Junayd
Al-Junayd sendiri sebenarnya termasuk seorang sufi
yang tawadhu’. Saking tawadhu’nya ia malah pernah bilang kalau ajaran-ajaran
sufinya tak perlu disebarluaskan. Kok begitu? la khawatlr pikiran-pikirannya
itu membuat orang lupa pada ajaran Rasululullah. Kendati begitu, menurut
Al-Sarraj, Al-Junaiyd pernah menulis kitab yang berjudul AI-Munajat dan Shar
Shathiyat Abi Yazid AI-Bistami. Juga ada bukunya yang berjudul Tashih Ai-lradhah
dan Al Rasa’il.
Al-Rasa’il selain berisi surat-surat Al-Junayd yang
dikirimkannya kepada para sahabatnya, juga memuat ajaran-ajaran Al-Junayd
sendiri berupa tulisan para muridnya ketika menerima pelajaran dari dia. Selain
itu ada satu lagi karya tulisnya. berjudul Dawa Al-Tafit. Buku itu konon kini
tersimpan di Birmingham, Inggris.
Tetapi yang jelas, ajaran-ajaran tasawuf Al-Junayd
tersebar di bcberapa karya para sufi lainnya, lewat berbagai kutipan-kutipan.
Imam AI-Ghazali sendiri tampaknya mengetahui ajaran Al-Junayd melalui berbagai
kutipan yang terdapat dalam buku-buku tasawuf. Di dalam biografinya, AI-Ghazali
mengakui bahwa ajaran-ajaran sufi yang terdapat dalam bukunya merupakan
kumpulan dari ucapan Al-Junayd, Al-Shibli, dan Abu Yazid yang tersebar di
beberapa buku.
Alhasil, sufi Al-Junayd telah memberikan
pemikiran-pemikiran sufistiknya yang agak beda dengan para sufi kebanyakan.
Baik dalam pola penampilan hidup sehari-harinya maupun dalam pandangannya soal
zuhud. la memang seorang sufi yang lebih bersifat moderat. Itulah makaya banyak
kalangan yang mengikuti ajaran-ajarannya. Bahkan hingga kini, narna sufi
Al-Junayd dan ajarannya masih tetap melambung di deretan para sufi terkemuka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar