“Dan apabila
hanya nama Allah saja yang disebut, kesallah hati orang-orang yang tidak
beriman kepada kehidupan akhirat; dan apabila nama sembahan-sembahan selain
Allah yang disebut, tiba-tiba mereka bergirang hati.” (az-Zumar [39]: 45)
Saya
berharap ayat di atas tidak menyindir saya atau pun Anda. Sebab sangat jelas di
dalam ayat tersebut, Allah swt. menjelaskan tentang kondisi hati orang-orang
munafik.
Anda mungkin
sering mendapati orang-orang yang menyebut nama Allah, di depan Anda, atau di
hadapan orang banyak. Anda bisa perhatikan bagaimana mimik muka dan intonasi
suaranya ketika dia mengucapkan nama Allah itu. Baik topik yang dibicarakan itu
masalah-masalah agama maupun tidak. Lalu perhatikanlah pengaruh dia menyebutkan
nama Allah itu terhadap diri dan hati Anda.
Anda mungkin
sering melihat dan mendengarkan orang-orang yang menyebutkan nama Allah di
hadapan orang banyak. Dari mimik muka dan intonasi suaranya ketika dia
mengucapkan nama Allah itu, Anda akan bisa menilai tingkat percaya
diri(pede)-nya ketika mengucapkan nama “Allah”.
Orang yang
memiliki rasa percaya diri tinggi ketika mengucapkan suatu kata, maka ucapannya
itu akan cepat meresap dan berpengaruh terhadap orang yang mendengarnya
sehingga mereka memercayainya. Berbeda dengan orang yang berbicara dengan
setumpuk keragu-raguan di hatinya, Anda sudah pasti akan meragukan apa yang dia
ucapkan.
Mengutip
pesan Syekh Abdullah Nasih Ulwan untuk para dai dan ulama, beliau berkata,
“Ikutilah dai atau ulama yang kata-katanya membuat hatimu tenang dan pikiranmu
menjadi tunduk memahami apa yang dia ucapkan.”
Kata-kata
yang bisa memengaruhi pikiran dan perasaan orang lain adalah kata-kata yang
diutarakan dengan jujur dari dalam hati sanubari dan disampaikan dengan penuh
rasa percaya diri dan keyakinan penuh akan kebenaran apa yang diucapkannya.
Saya juga
akan mengutip untuk Anda sebuah firman Allah yang cukup populer di kalangan
ulama dan dai.
“Sesungguhnya
orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah
gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya
bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada Tuhan-lah mereka bertawakal.”
(al-Anfaal [8]: 2)
Bagaimanakah
pemahaman Anda tentang makna “…apabila disebut nama Allah gemetarlah hati
mereka…”? Apakah Anda memahaminya sebagai hati yang merasa takut, kemudian
menjauhi larangan-Nya dan melaksanakan perintah-perintah-Nya? Itu adalah
pemahaman yang benar. Namun, saya akan mengajak Anda melakukan instrospeksi ke
dalam diri kita masing-masing guna mencari “jalan lain” yang lebih sederhana
dan gampang untuk memahami makna “hati yang bergetar” itu.
Apa yang
Anda rasakan dalam hati Anda, ketika dari sekian banyak kata-kata dan kalimat
yang Anda ucapkan di hadapan orang lain ada nama “Allah”? Baik ketika hanya
bicara berduaan, atau ketika Anda menjadi seorang pembicara yang memberikan
sambutan di hadapan umum dalam sebuah acara formal. Seberapa ‘pede’kah Anda
mengucapkan nama “Allah” itu?
Bagi seorang
ustadz atau ulama yang telah terbiasa berbicara tentang masalah agama, hal demikian
tentu bukan menjadi masalah. Akan tetapi, nama “Allah” adalah satu-satunya kata
yang memiliki “kekuatan gaib” bila pengucapannya digerakkan oleh keyakinan hati
dan pikiran. Adanya “kekuatan gaib” dalam menyebutkan nama-Nya itu sama sekali
tidak dipengaruhi oleh profesi orang yang mengucapkannya—apakah dia seorang
ustadz, dai, ulama, dan sebagainya—atau seberapa biasa kita mengucapkannya.
Namun, kekuatan itu terdapat pada seberapa yakinnya hati dan seberapa ‘pede’kah
nama-Nya itu diucapkan.
Ada sebagian
orang yang merasa ragu untuk menyebutkan nama “Allah” dalam perkataan dan
pembicaraannya, kemudian menggantinya dengan “Tuhan,” istilah yang lebih umum
dan “mewakili” Tuhan semua agama. Hatinya merasa “tidak enak” bahkan mungkin
“muak” menyebutkan nama “Allah” secara tegas dan jelas di hadapan orang banyak
sehingga dia menggantinya dengan “Tuhan.”
Saya
berharap Anda bukan termasuk orang-orang yang demikian. Namun bila itu
merupakan keadaan Anda selama ini, maka ayat yang saya kutip pada bagian awal
bab ini secara tegas telah menyindir Anda.
“Dan
apabila hanya nama Allah saja yang disebut, kesallah hati orang-orang yang
tidak beriman kepada kehidupan akhirat; dan apabila nama sembahan-sembahan
selain Allah yang disebut, tiba-tiba mereka bergirang hati.” (az-Zumar [39]:
45)
Saya ingin
menyegarkan kembali pikiran Anda dengan kisah Da’tsur ketika dia ingin membunuh
Rasulullah saw. Saat itu, Rasulullah saw. sedang sendirian menunggu keringnya
pakaian yang beliau jemur. Tidak ada siapa pun dari para sahabat yang
menemaninya waktu itu.
Tiba-tiba
datang Da’tsur dengan pedang terhunus lalu mengalungkannya ke leher Rasulullah
saw. Untuk membunuh beliau, dia tinggal menekan dan menggesek sedikit saja
untuk memotong lehernya. Akan tetapi, kesombongan hati Da’tsur yang tidak yakin
akan keberadaan Allah, membakar emosinya untuk melemparkan pertanyaan yang
menantang dan mengejek Tuhannya Muhammad.
Dia
bertanya, “Hai Muhammad, sekarang aku akan memotong lehermu! Siapa yang
akan menolongmu?”
Hanya satu
kata yang beliau ucapkan untuk menjawab pertanyaan Da’tsur yang kafir itu, “Allah!”
jawab Rasulullah.
Lalu apa
yang terjadi dengan Da’tsur setelah mendengar nama Allah disebutkan oleh
Rasulullah saw.?
Keringat
dingin pun mengalir dari seluruh pori-pori kulitnya. Tangannya bergetar,
seluruh persendiannya lemas, tulang-tulangnya serasa dicabut dari tubuhnya
sehingga tidak mempunyai tiang penyanggah untuk dapat berdiri tegak. Dia jatuh
tersungkur ketakutan bersama pedangnya.
Keadaan pun
berbalik. Sekarang, Rasulullah yang memegang pedang itu dan mengalungkannya ke
leher Da’tsur. Beliau pun balik bertanya, “Kalau sekarang, siapakah yang akan
menolong kamu?” Dengan tubuh yang terbujur menggigil ketakutan di tanah, air
mata yang mengalir deras, dan keringat dingin bercucuran, dia menjawab dengan
suara bergetar, “Tidak ada wahai Muhammad, kecuali kalau kau mau memaafkanku!”
Beliau pun
memaafkannya. Peristiwa itu adalah pintu hidayah bagi Da’tsur. Dia termasuk
orang yang beruntung karena Allah dan Rasulullah masih membuka pintu hidayah
baginya. Sehingga saat itu juga, Da’tsur mengucapkan kalimat syahadat sebagai
tanda keislamannya.
Rasulullah
mengucapkan nama “Allah” dengan hati yang penuh dengan keyakinan dan kepasrahan
total pada kemahakuasaan-Nya. Ucapan yang mengalir dari dasar hati beliau itu pun
mampu melunakkan hati yang keras serta melumpuhkan tubuh yang kekar dan kuat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar